ugm-surabaya

ugm-surabaya

Kamis, 21 April 2016

Balada Sangkan Paran


BALADA SANGKAN PARAN--sebuah puisi


(Sebuah puisi di catatan harian ibuku)

tak ada teh manis di meja beranda

atau roti, keju, dan mentega

Cuma selengkung senyum dan

hamil yang menua

buat bekal suami


menengok huma

(headline Koran-koran lokal)

Pak Harto Peringati Hari Kartini Bersama Dharma Wanita, Pegawai Negeri Pakai Batik Kemeja, Anak-Anak Sekolah Diwajibkan Pakai Kebaya Buat Memperingati Emansipasi Wanita

(dalam catatan harian bapakku)

Pada suatu pagi

di awal musim ketiga

di sebuah keheningan huma

denting pacul di batu kurus

meletus-letus di pedalaman kalbu

seperti mengingatkan kembali:

rumah tangga tak cukup dihidupi fulus

tapi bikin kurus

kalau Cuma berbekal fokus


(di sebuah buku agenda kerja milik bidan muda yang cantik)

Colt butut

Terkentut-kentut

Di jalanan batu berumput

Isi perut

Diaduk-aduk

Seperti lumpur

Berisi belut


Pedusunan yang dungu namun

Tak pernah sok bersahaja

Kesana aku dipanggil

Buat tugas dan kerja


Rumah joglo menyapa

Di depan sana suami muda

Seperti berharap

Agar aku lekas menolongnya

Menenangkan sejenak bayi nakal

Yang usil keroncal-keroncal

Di perut istrinya



Ohh, bayi nakal ya nakal

Makin sengit saja polahnya

Ketika kupegang perut ibunya


Seorang dukun berkebaya kumal

Justru yang paham permintaan bayi nakal

Ia tulis di kening ingatanku

Bahwa kelahiran

Tak sekedar mengorek-orek rahim
Dan kemaluan

Kutulis di lembar belakang ijasahku

Bahwa “Kelahiran adalah menerima kehendak alam

Kelahiran adalah menyangkut adil tidaknya perlakuan

Terhadap kasih sayang Tuhan)

(di sebuah buku kalbu dukun wanita tua tertulis puisi yang amat indah dan bermakna, sayang tak sempat masuk dokumentasi sastra di Jakarta sana)

Penyair manja berkata “malam makin menua”

Bayanganku di cermin berkata, “aku sudah tua”

Tak ada yang perlu dicemaskan dan disesalkan

dari sisa hidup yang berlumuran darah air ketuban

aku percaya,

kaya miskin sama tak punya,

tua-muda hanya perkara usia,

lahir mati tak ada yang meminta,



Joem’at Keliwon, 21 Doelkaidah 1927 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar