BALADA SANGKAN PARAN--sebuah puisi
(Sebuah puisi di catatan harian ibuku)
tak ada teh manis
di meja beranda
atau roti, keju,
dan mentega
Cuma selengkung
senyum dan
hamil yang menua
buat bekal suami
menengok huma
(headline Koran-koran lokal)
Pak Harto
Peringati Hari Kartini Bersama Dharma Wanita, Pegawai Negeri Pakai Batik
Kemeja, Anak-Anak Sekolah Diwajibkan Pakai Kebaya Buat Memperingati Emansipasi
Wanita
(dalam catatan harian bapakku)
Pada suatu pagi
di awal musim
ketiga
di sebuah
keheningan huma
denting pacul di
batu kurus
meletus-letus di pedalaman
kalbu
seperti
mengingatkan kembali:
rumah tangga tak
cukup dihidupi fulus
tapi bikin kurus
kalau Cuma berbekal fokus
(di sebuah buku agenda kerja milik bidan
muda yang cantik)
Colt butut
Terkentut-kentut
Di jalanan batu
berumput
Isi perut
Diaduk-aduk
Seperti lumpur
Berisi belut
Pedusunan yang
dungu namun
Tak pernah sok
bersahaja
Kesana aku dipanggil
Buat tugas dan
kerja
Rumah joglo
menyapa
Di depan sana
suami muda
Seperti berharap
Agar aku lekas
menolongnya
Menenangkan sejenak
bayi nakal
Yang usil keroncal-keroncal
Di perut istrinya
Ohh, bayi nakal
ya nakal
Makin sengit saja polahnya
Ketika kupegang perut ibunya
Seorang dukun
berkebaya kumal
Justru yang paham
permintaan bayi nakal
Ia tulis di
kening ingatanku
Bahwa kelahiran
Tak sekedar
mengorek-orek rahim
Dan kemaluan
Kutulis di lembar
belakang ijasahku
Bahwa “Kelahiran
adalah menerima kehendak alam
Kelahiran adalah menyangkut
adil tidaknya perlakuan
Terhadap kasih
sayang Tuhan)
(di sebuah buku kalbu dukun wanita tua
tertulis puisi yang amat indah dan bermakna, sayang tak sempat masuk
dokumentasi sastra di Jakarta sana)
Penyair manja
berkata “malam makin menua”
Bayanganku di
cermin berkata, “aku sudah tua”
Tak ada yang
perlu dicemaskan dan disesalkan
dari sisa hidup
yang berlumuran darah air ketuban
aku percaya,
kaya miskin sama
tak punya,
tua-muda hanya
perkara usia,
lahir mati tak
ada yang meminta,
Joem’at Keliwon, 21 Doelkaidah 1927