ugm-surabaya

ugm-surabaya

Jumat, 24 April 2015

Perempuan tua dan anggrek

       Gerimis belum berdamai dengan seng atap rumah susun. Sepersekian detik, tiada air yang menetes dari langit. Menimbulkan hening sejenak di batin. Kembali suara berkeletak ramai. Tapi hening di batinnya tak lepas-lepas. Ia keluar dari kamar sempitnya(terlihat seorang perempuan tua membuka pintu dan menatap gerimis berlatar awan merah tak lepas-lepas). Di pagar depan pintunya hiduplah bunga anggrek . Menunggu siramannya tiap pagi dan sore. Anggrek itu jadi temannya. Bagaimana dia bisa berteman dengan anggrek dia sendiri tidak tahu. Dia hanya tahu anggrek berada disitu dan tiap tanaman membutuhkan siraman.

PEREMPUAN TUA
(memegang teko kecil, berkata dalam batin) kau bukan milikku hai Anggrek. (sedikit air ia tuangkan di sela-sela batang anggrek) tapi aku menyiramimu tiap pagi, tiap sore. Terkadang aku terlampau sibuk, hingga kutemukan kau layu di siang hari. Seharusnya kau tidak disini Anggrek, mengapa aku menemukanmu? Mengapa aku tidak menghindar lari darimu?

Hening sesaat. Malam masih menyanyikan gerimis. Perempuan tua merapatkan jaket tebalnya. Dirasainya angin berdesir mengusap keriput di kulitnya. Ia mengejek angiin yang dingin. Ia memperolok sang angin telah kehabisan pesonanya pada para gadis-gadis. hingga kulitnya yang tak rata itu disentuhnya juga. Angin telah berlalu membawa sedikit wangi kewanitaan bunga Anggrek. Perempuan tua itu kembali sendiri. Atau ia berdua dengan anggrek. Selalu begitu memang. Dan selalu pula ia hidupkan anggrek dalam pembicaraan malamnya.
PEREMPUAN TUA
(memandangi anggrek, bersandar pada tiang tempat sang anggrek hidup) “kemana engkau ketika malam hai anggrek?”

Belum ada jawaban. Meskipun itu dari jiwanya sendiri. Sedang anggrekpun hanya manggut-manggut dipagut desir angin yang kembali datang.

“kau masih diam anggrek. Mungkin kini kau sedang pergi. sedang aku tiap malam berusaha menemanimu”

ANGGREK

(Sebuah keberadaan yang mengadakan wujudnya pada manusia. Ia tidaklah pergi kemana-mana seperti disangkakan perempuan tua. Dia ada di dekatnya. Anggrek mendengarkan keluh perempuan tua. Anggrek memberi petunjuk tentang kehadirannya dalam tiap ketenangan perempuan tua. Hingga perempuan berbau tanah itu suka menemani anggrek tiap malam menjelang. Dan, keduanya tidak tahu)

“tiap malam aku berdiam disini. Menunggu sesuatu yang jauh. Menunggu yang tidak bisa dijangkau namun terlihat olehku”

Perempuan tua mulai membayar tiap waktunya dengan air mata, selagi ia menunggu jawaban dari anggrek.

“sedangkan di siang hari aku mencukupkan rezeki atas diriku. sambil menunggu sesuatu yang tidak bisa dijangkau dan tidak terlihat olehku”

PEREMPUAN TUA

(diusapnya air mata di pipinya yang keriput. Berhenti tangis di wajahnya. Tapi meraung-raunglah kesendirian di batinnya)

“kuberikan diriku tiap pagi dan sore untuk sesuatu yang bisa kujangkau namun tidak bisa terlihat kehadirannya. Kunanti-nanti seiring tetes air terakhir dari teko ini. Dia tidak datang. Dan kukira ia belum bisa menerimaku saat itu. sedang sisa hari kuhabiskan saja untuk tidur, memasak, dan mengatur tubuh. Tapi waktu senggangku kuberikan juga penantian ini untuknya. Berkali-kali kutengok di dedaunmu, di julur akarmu, apa yang sebetulnya bisa kujangkau tidak juga terlihat. Mungkin malam nanti pikirku”

(malam di sekitar perempuan tua dirajai larut.  perempuan tua yang berada di malam dirajai kantuk. Larut dan kantuk tidak punya cara untuk putus. Sayangnya perempuan tua tidak mempunyai gunting atau setidaknya kemauan untuk memutuskannya)

“oh badan yang renta. Meski Jiwaku bergejolak lautan masa muda. Jiwa oh jiwa. Kau tak cukup mumpuni memegang gunting pemutus larut dan kantuk. Tapi aku bertanya sekali lagi untuk wahai anggrek”
(perempuan tua sedikit berdamai dengan kantuk dan lelahnya)
“aku tidak tahu kapan kau sedia menerimaku. Tapi kutau kau juga menunggu. Siapa yang kau tunggu? Dan mengapa kau menunggunya?”

ANGGREK

(tiap tetes terakhir dari teko adalah saat yang menenangkan bagi anggrek. Tiap pagi dan sore ia menikmatinya. Tapi ia sendiri tidak tahu darimana teko. Ia tidak tahu untuk apa teko memberinya seteguk air kehidupan tiap pagi dan sore. Ia hanya tahu bagaimana membuat sepoi angin, dan sepoi angin didapat dari air)

“entah siapakah yang kutunggu. Sesuatu yang terlihat tapi sulit kujangkau. Tidak sepantasnya siapapun menanyakan untuk apa aku menunggunya. Sepanjang hari kukorbankan sepoi angin yang sejuk di sekitarku untuk menjangkaunya. Dan malam hari. Ia malam hari akupun menunggunya. Namun ia tetap terlihat tapi sulit dijangkau”

LAYAR DITUTUP.

Di balik sana, keduanya dengan tetap setia menunggu . keduanya tidak tahu bahwa dinanti-nanti, tidak sepantasnya dinanti. Malam diusir pagi, pagi digantikan sore, dan sore mengembalikan tahta waktu pada malam. Dalam pergantian itu, Rasakan, hayati, masihkah ada sepoi angin yang ber-air?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar