Gerimis belum berdamai dengan seng atap rumah susun. Sepersekian
detik, tiada air yang menetes dari langit. Menimbulkan hening sejenak di batin.
Kembali suara berkeletak ramai. Tapi hening di batinnya tak lepas-lepas. Ia keluar
dari kamar sempitnya(terlihat seorang perempuan tua membuka pintu dan menatap
gerimis berlatar awan merah tak lepas-lepas). Di pagar depan pintunya hiduplah
bunga anggrek . Menunggu siramannya tiap pagi dan sore. Anggrek itu jadi
temannya. Bagaimana dia bisa berteman dengan anggrek dia sendiri tidak tahu. Dia
hanya tahu anggrek berada disitu dan tiap tanaman membutuhkan siraman.
PEREMPUAN TUA
(memegang teko kecil, berkata dalam batin) kau bukan milikku
hai Anggrek. (sedikit air ia tuangkan di sela-sela batang anggrek) tapi aku
menyiramimu tiap pagi, tiap sore. Terkadang aku terlampau sibuk, hingga
kutemukan kau layu di siang hari. Seharusnya kau tidak disini Anggrek, mengapa
aku menemukanmu? Mengapa aku tidak menghindar lari darimu?
Hening sesaat. Malam masih menyanyikan gerimis. Perempuan tua
merapatkan jaket tebalnya. Dirasainya angin berdesir mengusap keriput di
kulitnya. Ia mengejek angiin yang dingin. Ia memperolok sang angin telah kehabisan
pesonanya pada para gadis-gadis. hingga kulitnya yang tak rata itu disentuhnya
juga. Angin telah berlalu membawa sedikit wangi kewanitaan bunga Anggrek. Perempuan
tua itu kembali sendiri. Atau ia berdua dengan anggrek. Selalu begitu memang. Dan
selalu pula ia hidupkan anggrek dalam pembicaraan malamnya.
PEREMPUAN TUA
(memandangi anggrek, bersandar pada tiang tempat sang
anggrek hidup) “kemana engkau ketika malam hai anggrek?”
Belum ada jawaban. Meskipun itu dari jiwanya sendiri. Sedang
anggrekpun hanya manggut-manggut dipagut desir angin yang kembali datang.
“kau masih diam anggrek. Mungkin kini kau sedang pergi.
sedang aku tiap malam berusaha menemanimu”
ANGGREK
(Sebuah keberadaan yang mengadakan wujudnya pada manusia. Ia
tidaklah pergi kemana-mana seperti disangkakan perempuan tua. Dia ada di
dekatnya. Anggrek mendengarkan keluh perempuan tua. Anggrek memberi petunjuk
tentang kehadirannya dalam tiap ketenangan perempuan tua. Hingga perempuan
berbau tanah itu suka menemani anggrek tiap malam menjelang. Dan, keduanya
tidak tahu)
“tiap malam aku berdiam disini. Menunggu sesuatu yang jauh. Menunggu
yang tidak bisa dijangkau namun terlihat olehku”
Perempuan tua mulai membayar tiap waktunya dengan air mata,
selagi ia menunggu jawaban dari anggrek.
“sedangkan di siang hari aku mencukupkan rezeki atas diriku.
sambil menunggu sesuatu yang tidak bisa dijangkau dan tidak terlihat olehku”
PEREMPUAN TUA
(diusapnya air mata di pipinya yang keriput. Berhenti tangis
di wajahnya. Tapi meraung-raunglah kesendirian di batinnya)
“kuberikan diriku tiap pagi dan sore untuk sesuatu yang bisa
kujangkau namun tidak bisa terlihat kehadirannya. Kunanti-nanti seiring tetes
air terakhir dari teko ini. Dia tidak datang. Dan kukira ia belum bisa menerimaku
saat itu. sedang sisa hari kuhabiskan saja untuk tidur, memasak, dan mengatur
tubuh. Tapi waktu senggangku kuberikan juga penantian ini untuknya. Berkali-kali
kutengok di dedaunmu, di julur akarmu, apa yang sebetulnya bisa kujangkau tidak
juga terlihat. Mungkin malam nanti pikirku”
(malam di sekitar perempuan tua dirajai larut. perempuan tua yang berada di malam dirajai
kantuk. Larut dan kantuk tidak punya cara untuk putus. Sayangnya perempuan tua
tidak mempunyai gunting atau setidaknya kemauan untuk memutuskannya)
“oh badan yang renta. Meski Jiwaku bergejolak lautan masa
muda. Jiwa oh jiwa. Kau tak cukup mumpuni memegang gunting pemutus larut dan
kantuk. Tapi aku bertanya sekali lagi untuk wahai anggrek”
(perempuan tua sedikit berdamai dengan kantuk dan lelahnya)
“aku tidak tahu kapan kau sedia menerimaku. Tapi kutau kau
juga menunggu. Siapa yang kau tunggu? Dan mengapa kau menunggunya?”
ANGGREK
(tiap tetes terakhir dari teko adalah saat yang menenangkan
bagi anggrek. Tiap pagi dan sore ia menikmatinya. Tapi ia sendiri tidak tahu
darimana teko. Ia tidak tahu untuk apa teko memberinya seteguk air kehidupan
tiap pagi dan sore. Ia hanya tahu bagaimana membuat sepoi angin, dan sepoi
angin didapat dari air)
“entah siapakah yang kutunggu. Sesuatu yang terlihat tapi
sulit kujangkau. Tidak sepantasnya siapapun menanyakan untuk apa aku
menunggunya. Sepanjang hari kukorbankan sepoi angin yang sejuk di sekitarku
untuk menjangkaunya. Dan malam hari. Ia malam hari akupun menunggunya. Namun ia
tetap terlihat tapi sulit dijangkau”
LAYAR DITUTUP.
Di balik sana, keduanya dengan tetap setia menunggu .
keduanya tidak tahu bahwa dinanti-nanti, tidak sepantasnya dinanti. Malam diusir
pagi, pagi digantikan sore, dan sore mengembalikan tahta waktu pada malam. Dalam
pergantian itu, Rasakan, hayati, masihkah ada sepoi angin yang ber-air?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar