ugm-surabaya

ugm-surabaya

Jumat, 24 April 2015

Santri kendil #2

Malam semakin habis, janji-janji hari esok menyiapkan pemenuhannya. Fajar merah belum sepenuhnya muncul, tapi aku ,mbah yai petani, dan mas barep masih duduk-duduk di lincak menghabiskan sisa malam. Seperempat kopi yang dingin masih menyediakan asa untuk pembicaraan sampai subuh nanti. Menunggui mas barep menjahit celana kolor hitamnya, mbah yai petani membuka pembicaraan.
“besok kamu ke pasar le”, mengalihkan pandang padaku.
“mungkin begitu mbah, sekalian saya ke perpus kota kecamatan cari buku”,
“oalah”,
“mbah, boleh saya bertanya”,
“silahkan, selagi saya bisa menjawab”
“apakah mbah dulu kutu buku atau kutu kitab”,
Ia mengulum senyum.
“ndak pernah le. Ndak pernah saya baca buku. Baca huruf latin aku ndak bisa. Huruf jawi sedikit-sedikit”,
“apakah mbah pernah nyantri?”,
“seingatku pernah. Bahkan hingga kini”,
“tapi pengetahuan panjenengan kok luas ya mbah”,
“itu kan menurutmu. Kalau menurutku ya beginilah keadaanku le. Yang saya ingat dan terapkan sampai kini hanyalah kerja. Kalau ndak kerja, teori manapun mana bisa terlaksana. Di dalam kerja sudah tersimpan teori le”
“wah, kalau begitu mbah ini ensiklopedia berjalan dong”,
“apa itu ensikoedlia?”
“ensiklopedia mbah. Saya mau bertanya saja mbah, mumpung belum imsak”
“ya monggo”
“ibu saya berpesan untuk selalu mendoakan arwah leluhur tiap malam jumat. Maksud semua itu apa mbah?”,
“hehehe, kamu terkena virus bangsa penjajah le. Sibuk mempertanyakan segala hal. Tentu doamu dan segenap bacaan yasin untuk arwah leluhurmu membantu banyak bagi mereka le”
“kenapa bisa mbah? Bukannya masa pengabdian mereka di dunia sudah habis. Dan alam kubur tinggal wahana untuk pembalasan. Baik dibalas baik, buruk dibalas buruk”
“itu kan cerita orang-orang mushola le. Kebenarannya kita sama-sama boleh menafsirkan.
Allah maha pengampun, maha penyayang. Pengampunannnya bahkan lebih besar dari kesalahan manusia. Karena Dia maha penyayang jadi kasih sayangnya melampaui ruang dan waktu”
“kok terlalu berat ya mbah”,
“menurutmu apa yang dilakukan para mayit di alam kubur?”,
“diberi nikmat kubur mbah, atau kalau yang apes kena gada malaikat”,
“belum le. Kubur bukan penentuan akhir. Alam kubur adalah masa antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, dimana manusia sadar akan hakikat keberadaannya di bumi”
“bukankah sejak di bumi mereka sadar akan hakikat keberadaan dan tugas yang diemban mbah?”
“tidak semua le. Ada yang sadar, ada pula yang tertipu oleh gincu dan bedak duniawi. Tidak terkecuali para kyai dan penjaga umat le”,
“jadi Allah masih memberi kesempatan untuk bertobat ya mbah pas di alam kubur”,
“aku tidak bisa mengatakan ya. Cuma Allah tidak langsung menyiksa manusia hanya karena dosa-dosanya semasa di dunia. Ingat le, alam kubur bukan penentuan akhir. Dan kasih sayangnya yang maha itu sanggup mengatasi ruang dan waktu.”
“lalu untuk apa semua doa-doa tadi mbah”
“doamu untuk menghidupkan cahaya mereka di alam kubur le. Kamu tahu sendiri kalau orang sedang mencari, apalagi mencari kesalahan yang kecil mestilah memakai pelita. Itu si mbarep nunak-nunuk cari jarum di kegelapan”,
“jadi api kehidupan harus terus berkobar ya mbah”
“dapurmu le, apimu itu masih kelap-kelip belum berkobar termasuk punyaku. Hahahaha”.

Dan fajarpun datang menghinggapi seluruh ruang semesta. Aku tidak ingat lagi dengan pembicaraan itu. karena lantun tarhim dari musholla meninabobokan kantuk yang ditahan-tahan.

Perempuan tua dan anggrek

       Gerimis belum berdamai dengan seng atap rumah susun. Sepersekian detik, tiada air yang menetes dari langit. Menimbulkan hening sejenak di batin. Kembali suara berkeletak ramai. Tapi hening di batinnya tak lepas-lepas. Ia keluar dari kamar sempitnya(terlihat seorang perempuan tua membuka pintu dan menatap gerimis berlatar awan merah tak lepas-lepas). Di pagar depan pintunya hiduplah bunga anggrek . Menunggu siramannya tiap pagi dan sore. Anggrek itu jadi temannya. Bagaimana dia bisa berteman dengan anggrek dia sendiri tidak tahu. Dia hanya tahu anggrek berada disitu dan tiap tanaman membutuhkan siraman.

PEREMPUAN TUA
(memegang teko kecil, berkata dalam batin) kau bukan milikku hai Anggrek. (sedikit air ia tuangkan di sela-sela batang anggrek) tapi aku menyiramimu tiap pagi, tiap sore. Terkadang aku terlampau sibuk, hingga kutemukan kau layu di siang hari. Seharusnya kau tidak disini Anggrek, mengapa aku menemukanmu? Mengapa aku tidak menghindar lari darimu?

Hening sesaat. Malam masih menyanyikan gerimis. Perempuan tua merapatkan jaket tebalnya. Dirasainya angin berdesir mengusap keriput di kulitnya. Ia mengejek angiin yang dingin. Ia memperolok sang angin telah kehabisan pesonanya pada para gadis-gadis. hingga kulitnya yang tak rata itu disentuhnya juga. Angin telah berlalu membawa sedikit wangi kewanitaan bunga Anggrek. Perempuan tua itu kembali sendiri. Atau ia berdua dengan anggrek. Selalu begitu memang. Dan selalu pula ia hidupkan anggrek dalam pembicaraan malamnya.
PEREMPUAN TUA
(memandangi anggrek, bersandar pada tiang tempat sang anggrek hidup) “kemana engkau ketika malam hai anggrek?”

Belum ada jawaban. Meskipun itu dari jiwanya sendiri. Sedang anggrekpun hanya manggut-manggut dipagut desir angin yang kembali datang.

“kau masih diam anggrek. Mungkin kini kau sedang pergi. sedang aku tiap malam berusaha menemanimu”

ANGGREK

(Sebuah keberadaan yang mengadakan wujudnya pada manusia. Ia tidaklah pergi kemana-mana seperti disangkakan perempuan tua. Dia ada di dekatnya. Anggrek mendengarkan keluh perempuan tua. Anggrek memberi petunjuk tentang kehadirannya dalam tiap ketenangan perempuan tua. Hingga perempuan berbau tanah itu suka menemani anggrek tiap malam menjelang. Dan, keduanya tidak tahu)

“tiap malam aku berdiam disini. Menunggu sesuatu yang jauh. Menunggu yang tidak bisa dijangkau namun terlihat olehku”

Perempuan tua mulai membayar tiap waktunya dengan air mata, selagi ia menunggu jawaban dari anggrek.

“sedangkan di siang hari aku mencukupkan rezeki atas diriku. sambil menunggu sesuatu yang tidak bisa dijangkau dan tidak terlihat olehku”

PEREMPUAN TUA

(diusapnya air mata di pipinya yang keriput. Berhenti tangis di wajahnya. Tapi meraung-raunglah kesendirian di batinnya)

“kuberikan diriku tiap pagi dan sore untuk sesuatu yang bisa kujangkau namun tidak bisa terlihat kehadirannya. Kunanti-nanti seiring tetes air terakhir dari teko ini. Dia tidak datang. Dan kukira ia belum bisa menerimaku saat itu. sedang sisa hari kuhabiskan saja untuk tidur, memasak, dan mengatur tubuh. Tapi waktu senggangku kuberikan juga penantian ini untuknya. Berkali-kali kutengok di dedaunmu, di julur akarmu, apa yang sebetulnya bisa kujangkau tidak juga terlihat. Mungkin malam nanti pikirku”

(malam di sekitar perempuan tua dirajai larut.  perempuan tua yang berada di malam dirajai kantuk. Larut dan kantuk tidak punya cara untuk putus. Sayangnya perempuan tua tidak mempunyai gunting atau setidaknya kemauan untuk memutuskannya)

“oh badan yang renta. Meski Jiwaku bergejolak lautan masa muda. Jiwa oh jiwa. Kau tak cukup mumpuni memegang gunting pemutus larut dan kantuk. Tapi aku bertanya sekali lagi untuk wahai anggrek”
(perempuan tua sedikit berdamai dengan kantuk dan lelahnya)
“aku tidak tahu kapan kau sedia menerimaku. Tapi kutau kau juga menunggu. Siapa yang kau tunggu? Dan mengapa kau menunggunya?”

ANGGREK

(tiap tetes terakhir dari teko adalah saat yang menenangkan bagi anggrek. Tiap pagi dan sore ia menikmatinya. Tapi ia sendiri tidak tahu darimana teko. Ia tidak tahu untuk apa teko memberinya seteguk air kehidupan tiap pagi dan sore. Ia hanya tahu bagaimana membuat sepoi angin, dan sepoi angin didapat dari air)

“entah siapakah yang kutunggu. Sesuatu yang terlihat tapi sulit kujangkau. Tidak sepantasnya siapapun menanyakan untuk apa aku menunggunya. Sepanjang hari kukorbankan sepoi angin yang sejuk di sekitarku untuk menjangkaunya. Dan malam hari. Ia malam hari akupun menunggunya. Namun ia tetap terlihat tapi sulit dijangkau”

LAYAR DITUTUP.

Di balik sana, keduanya dengan tetap setia menunggu . keduanya tidak tahu bahwa dinanti-nanti, tidak sepantasnya dinanti. Malam diusir pagi, pagi digantikan sore, dan sore mengembalikan tahta waktu pada malam. Dalam pergantian itu, Rasakan, hayati, masihkah ada sepoi angin yang ber-air?



Kamis, 23 April 2015

santri kendil #1

Malam ini sehabis sholat isya’ mbah yai petani duduk-duduk di lincak depan rumahnya, ditemani bu nyai membicarakan sesuatu yang ringan. Aku datang menghampiri mereka berdua dan duduk di samping mbah yai petani. Kedatanganku membuat bu nyai masuk ke dalam rumah. Namun tak berapa lama ia keluar lagi membawa piring yang berisi jadah bakar, dan seteko kecil air teh, aku diijinkan menikmatinya,
“mbah yai, boleh saya ikut mengaji di mesjid kulon kali”, aku membuka pertanyaan.
“itu hakmu ngger, perhatikan niatmu dulu, kalau sudah benar lihat juga keadaanmu”
“maksudnya bagaimana mbah”,
“aku ingin tahu apa maksud terbesarmu ingin mengikuti pengajian itu”
“ingin menambah ilmu mbah”
“bagus ngger, tak ada yang lain?”
“ada mbah. Tapi saya malu mengungkapkan”,
“tak usah malu. Selagi malumu hanya sebatas kepadaku”
“begini mbah, saya terkadang kecewa dengan keadaan saya sekarang. Miskin, dekil, dan kurang berpendidikan. Karena itu saya ingin ikut pengajian, agar hati tenang. Kekecewaan saya bukan karena kemiskinan, kedekilan dan kebodohan itu, tapi karena dengan itu semua saya merasa tidak bisa mendapat apa yang seharusnya saya ingin dapatkan”
“bahasamu mbulet le. Tapi
aku sedikit menangkap akan maksudmu. Pernahkah kamu membayangkan akan mendapat kekayaan dan kewibawaan hidup le”
“pernah mbah, sering bahkan”
“apakah kamu pernah berpikir dengan itu semua kamu tidak ada halangan lagi mendapatkan apa yang kamu ingini?”
“saya tidak tahu mbah, saya belum pernah merasakan kaya”
“pinter kowe le. kalau kamu belum rasakan kaya, kenapa kamu yakin bahwa kekayaan bisa buatmu mendapat apa yang kamu inginkan?”,
“orang-orang yang berkata begitu mbah”,
“kalau orang-orang berkata sekolah itu keharusan bagi manusia, apakah kamu mempercayai mereka. Sedang kamu tidak pernah bersekolah?”,
“tidak mbah”,
“emangnya apa tho yang ingin kamu dapatkan?”,
“larasati mbah, anaknya babah liem tengkulak kedondong”,

“aku sudah mengira dari awal le, kalau memang itu yang kamu inginkan, seharusnya tidak ada siapapun yang membuatmu tidak pantas memiliki larasati. Termasuk dirimu sendiri”